Kamis, 11 Juni 2009

Facebook dan Pilpres 2009


Prolog:

TEHERAN,KOMPAS.com-Pemerintah Iran telah menutup akses atas situs jaringan sosial, Facebook, menjelang pemilihan presiden pertengahan Juni mendatang.
Kantor berita Iran, ILNA, Minggu (24/5) menyebutkan langkah itu ditempuh untuk menghalangi penggunaan Facebook oleh para pendukung calon kubu reformis, Hussein Mousavi, dalam kampanyenya.

Saat masa kampanye pemilihan presiden dimulai Sabtu kemarin, sejumlah ulama berpengaruh meminta penggunaan secara adil media radio dan televisi --yang dikuasai pemerintah-- untuk kepentingan kampanye. Dalam waktu 24 jam setelah itu, Facebook mengatakan menerima laporan-laporan bahwa situsnya diblokir di Iran. Alasannya, seperti dilaporkan kantor berita ILNA, adalah karena para pendukung Hussein Mousavi menggunakan situs jaringan sosial itu dengan lebih baik untuk menyebarluaskankan posisi Mousavi. Mousavi memiliki 5.000 lebih pendukung yang bergabung dengan halaman Facebook-nya, yang antara lain berisi kritik atas pemerintahan saat ini yang dianggap tidak menghargai warga Iran di seluruh dunia.

Juru bicara Facebook mengatakan perusahaannya kecewa karena para pemilih tidak bisa mengakses situs Facebook justru ketika menggunakan internet untuk mencari informasi tentang para calon presiden (www.kompas.com)


Luar biasa memang ekses situs dunia maya itu. Di usianya yang baru lima tahun, website yang dibangun remaja berusia 19 tahun Mark Zuckerberg pada tahun 2004, kini telah mencandui ratusan juta umat manusia di bumi ini sehingga memberi dampak ekonomi, sosial, politik hingga ke ranah pertahanan dan keamanan negara. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur. Facebook dianggap telah mengusik tatanan sosial di wilayah pesantren, sehingga pengasuh pondok merasa perlu mengeluarkan fatwa agar santrinya tak menjadi ”autis” gara-gara Facebook-an melulu. Demikian juga di Iran, Facebook bahkan dimaknai secara politis dinilai bakal bisa meruntuhkan dominasi penguasa sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan pemblokiran.

Menjelang pilpres 2009 Penyerangan secara personal dalam sebuah forum diskusi yang sifatnya online (baca: facebook) begitu gencar dan beragam. Mulai dari Group simpatisan, dukungan hingga berujung pada isu black campaign pasangan Capres dan Cawapres tertentu. Isunya pun beragam mulai dari isu kerakyatan, wong cilik, neoliberal hingga isu SARA terpampang begitu vulgar dan sedikit ‘liar’. Misalnya dalam Artikel berjudul Habib Husein Al-Habsy : “Apa PKS Tidak Tahu Istri Boediono Katolik?” disitus http://www.indonesia-monitor.com yang kemudian didiskusikan dalam forum-forum facebook membawa beragam komentar dari pengguna facebook itu sendiri. Ada juga group-group diskusi yang mengatasnamakan relawan SBY-Boediono, Simpatisan JK-Wiranto dan Mega-Pro juga marak kita temukan.

Namun itu adalah hal yang wajar sifatnya, mengingat fungsi-fungsi gatekeeper dalam ruang media online adalah semu, kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali. fungsi gatekeeper di sini bukan untuk menjadi lembaga sensor seperti pada masa orde baru, melainkan sebagai lembaga yang mesti mempertanggung jawabkan setiap berita atau isu-isu yang dikeluarkan forum/ institusi tersebut. jadi jika terjadi adanya serangan personal tidak menyenangkan yang ditujukan pada seorang pribadi capres, cawapres maupun partai politik dan lembaga politik lainnya dalam forum-forum facebook ini, sulit untuk menelisik siapa yang mesti bertanggung jawab, sebab pembuat forum ini sendiri adalah anonim yang sepertinya bukan seseorang yang benar-benar berani mengungkapkan diri di depan publik. para anggota forum tidak dapat dimintai tanggung jawabnya mengingat dibuatnya forum ini adalah memang sebagai agitasi black campaign melawan personal, tersirat dengan jelas dengan pengambilan kata "Say No to..."

Jadilah forum-forum seperti itu sebagai wadah untuk para pembeci person atau pasangan tertentu untuk melagukan "orkes sakit hati"-nya. sekali lagi, para peserta forum bukanlah pihak yang mesti bertanggung jawab mengingat kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi di negara ini.

jika bertanya siapa yang mesti bertanggung jawab, maka si gatekeepr anonim-lah yang harus ditunjuk hidungnya. sayangnya, secara hukum, Indonesia belum menerapkan hukum cyber dan informatika, jadi tidak jelas sanksi apa yang bisa diterapkan karena tidak jelas hukum apa yang dilanggar. hukum pers dan hukum informasi memang sudah ada, juga beberapa pasal sudah mengatur soal ketentuan-ketentuan dalam usaha penyebaran berita. namun hukum-hukum tadi dirasa belum bisa menyentuh ruang media online sebab hukum-hukum itu hanya mengatur media yang dikategorikan sebagai siaran(televisi dan radio) serta cetak (majalah, buku, suratkabar, dsb).

Sebenarnya ada satu tindakan yang bisa menjinakkan keliaran media yang kurang bertanggung jawab, mungkin bukan satu-satunya, tidak begitu efektif memang tapi lebih baik ketimbang tidak ada--sembari menunggu Indonesia meratifikasi hukum cyber dalam peraturan pidanya. tindakan tersebut adalah dengan melakukan filter terhadap berita-berita tertentu. Dalam ilmu komunikasi kegiatan ini sejalan dengan teori two-step flow of communication (komunikasi dua tahap), di mana ada individu-individu dalam masyarakat yang dirasa mampu melakukan tindakan-tindakan intelektual dalam mendidik serta mengarahkan publik untuk memilih mana yang tepat untuk dibaca, ditonton serta ditanggapi. para intelektual inilah yang juga mesti menawarkan perspektif baru pada khalayak tentang bagaimana melihat dan menanggapi media tertentu.

Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang sering kali tersumbat atau terkendala kesungkanan.

Karena itu pula, tak heran jika para politisi, calon anggota legislatif, Capres-Cawapres beserta tim suksesnya memanfaatkan kedigdayaan media alam maya ini untuk mencari simpati, berorasi, menggalang kekuatan serta ”menjatuhkan” lawan politik.
Sekalipun demikian, keterbukaan dan kebebasan alam maya yang bisa dimasuki siapa saja tersebut mestinya tetap memberi kesadaran moralitas, etika dan sopan santun bagi penggunanya. Setiap orang bisa membuat grup ”Say No to…” atau ”Say Yes to…” siapa dan apa saja di Facebook, yang penting koridor hukum, moral, etika, sopan santun, membangun sikap politik yang matang, jujur, jernih atau apapun namanya harus tetap dikedepankan.

Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah salah satu syarat utama demokrasi yang sehat. Sebab informasi yang jelas, jujur dan baik, pasti berasal dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong pada tindak anarkisme.

1 komentar:

Lilis Danuwijaya on 13 Juni 2009 pukul 23.52 mengatakan...

makanya aku gak pake fesbuk..gara2nya sohib2 gw udah gak telp2 lagi..malah ngandelin fesbuk..(*halah)tadinya ragu buat tutup akun..ya weslah.. menurutku, sangat mengganggu komunikasi personal...hehe asyiknya komunikasi langsung...yah..makanya pake telp jauh lebih hangat ckckck...
tapi emang sih FB kalo dipake ama org yg emang bergelut di bidang sosialworker ya butuh bgt.intinya gimana makenya en bisa lebih santun lah..sepakat de..

 

kunjungi juga

Dunia Blogger Indonesian Muslim Blogger
Atas nama TuhanKu Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template