Kamis, 24 Desember 2009

Optimalisasi Fungsi Bimbingan Konseling Sekolah


Belakangan ini marak terjadi kasus-kasus kenakalan remaja, mulai dari perkelahian geng dan sekolah, perilaku mesum dan kemaksiatan, penggunaan Narkoba dan Alkohol, serta seks bebas di kalangan pelajar. Kasus-kasus yang tidak tampak pun kiranya semakin muncul di atas riak-riak air sistem pendidikan di negeri kita, dimana siswa yang tidak memenuhi standar nilai yang ditetapkan oleh DEPDIKNAS semakin banyak dan sulit untuk membendungnya.

Sampai dengan akhir September 2003 kasus AIDS yang dilaporkan pada kelompok umur 0 – 29 tahun sebesar 49,8 % dari keseluruhan kasus AIDS yang dilaporkan. Prosentase ini mungkin akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan napza suntik yang mayoritas dilaporkan pada kelompok berumur kurang dari 25 tahun. Oleh karena itu kita menyadari bahwa remaja sangat rentan tertular HIV/AIDS antara lain karena kelompok remaja tersebut sudah mulai aktif secara seksual, penyalahgunaan napza suntik, kekerasan seks dan rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi termasuk HIV/AIDS (IFPPD, 2008).

Kasus-kasus yang terdata tersebut tentunya tidak sebanyak kasus-kasus yang belum terungkap atau masih terselip dalam dinding-dinding sekolah. Ibarat gunung es, bagian gunung yang terdapat di bawah air justru lebih besar dibanding yang terlihat di atas air.

Rasa iba, kasihan, dan prihatin tentunya tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat betapa semakin besar tantangan yang akan dihadapi oleh bangsa ini di tahun-tahun mendatang, hal ini harus dituntaskan segera.
Pertama, Kita harus sepakat bahwa anak adalah bahan baku mentah yang siap diolah dan dibuat sedemikian rupa untuk penyiapan iron stock (meminjam istilah mahasiswa) di masyarakat, yang memiliki tugas untuk melanjutkan kerja-kerja peradaban bangsa ini ke depan. Oleh karenanya, anak yang lahir di atas dunia ini memiliki potensinya masing-masing yang siap dikelola dan diproses oleh institusi pendidikan. Potensi-potensi yang dimiliki oleh anak yaitu, kognitif, afektif, dan konatif. Kognitif adalah ranah kognisi atau pikiran yang di dalamnya berfungsi untuk mengolah hal-hal yang diperolehnya dari lingkungan apakah sesuai dengan logika atau tidak. Afektif adalah ranah perasaan yang di dalamnya terdapat emosi-emosi – berupa cinta, marah, takut, dan sebagainya – yang berfungsi sebagai alat penangkap dan penyebaran bahasa-bahasa non verbal dalam komunikasi intrapersonal maupun interpersonal, dan sebagai media untuk menentukan sikap terhadap suatu keadaan. Konatif adalah aspek perilaku yang ada pada diri anak. Tidak ada anak yang bodoh, inilah yang dikemukakan oleh pakar Multiple Intelligence Howard Gardner dalam bukunya. Karena potensi yang dimiliki anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT untuk dikembangkan.
Kedua, kita juga harus sepakat bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan pertama bagi anak.

Dimana pengajaran nilai-nilai, norma-norma, aturan, dan agama menjadi tugas bagi keluarga untuk mengembangkannya di dalam diri anak. Jangan pernah berharap bahwa anak adalah robot yang telah memiliki sejumlah program yang telah dibawanya dari lahir, akan tetapi anak ibarat kertas putih yang siap diisi dengan tulisan, warna maupun corak-corak yang bisa menjadi bekal baginya di masyarakat.
“Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala)”. (HR. Bukhari)

Ada fenomena lucu yang terjadi di masyarakat kita, betapa beberapa kalangan orang tua kita melepaskan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anak – hanya dengan alasan pekerjaan – kepada Babysitter dan playgroup. Padahal Lorentz menyatakan dalam teori ikatan (bonding theory) yaitu anak akan mengikuti pola yang diajarkan oleh orang yang mendidik dan membesarkannya. Jangan heran kalau anak-anak kita lebih dekat dengan pembantu atau babysitter kita, karena memang dari awal kita sudah menunjukkan betapa jauhnya jarak kita dengan anak. Sehingga kita harus menyadari bahwa anak adalah amanah yang diberikan oleh Allah kepada kita untuk kita didik dan kita besarkan dengan penuh kebaikan. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (at-Tahrim: 6)
Ketiga, kita mesti sepakat bahwa sekolah adalah produsen atau sebuah pabrik yang akan mengolah bahan mentah (anak) tersebut menjadi sebuah bahan jadi yang bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya. Sekolah merupakan Institusi pendidikan kedua setelah keluarga, dimana nilai-nilai edukasi diajarkan dan dibentuk pada diri anak mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat Lanjut. Pendidikan dan pengajaran menjadi fungsi utama dari sekolah. Sayang, banyak sekolah yang hanya menjalankan fungsi yang kedua, yaitu pengajaran. Sehingga beberapa guru merasa senang dan bangga kalau murid-muridnya kurang berhasil dalam mengerjakan soal ujian yang dibuatnya. Fenomena ini akhirnya membentuk persepsi sosial anak bodoh dan anak pintar.

Anak yang pintar dalam persepsi guru adalah anak yang berhasil menjawab persoalan logis-matematis dan bahasa (bahasa asing), padahal potensi-potensi anak yang lain belum tergali, sehingga kesempatan mereka untuk berkembang menjadi terbatas karena gurunya yang membatasinya. Jika anda memiliki persepsi ini, maka anda salah besar. Karena tugas guru adalah memberikan pemahaman edukasi kepada anak sesuai dengan potensinya masing-masing. Cara guru yang terkesan tradisional dalam penyampaian informasi juga terkadang menjadi hambatan bagi siswa untuk belajar. Sistem “catat bahan sampai abis”, ceramah yang monoton tanpa diberikan “bumbu-bumbu” humor atau contoh-contoh yang aktual membuat siswa semakin jenuh dan memberontak untuk tidak belajar di kelas.

Inilah problema yang tidak pernah tuntas dalam sistem pendidikan kita. Tentu tidak adil ketika kita mau membuat suatu standarisasi nilai atas satu makhluk yang memiliki kompleksitas kognisi, afeksi, dan konasi di dalam dirinya!
Karena penjabaran angka-angka matematis yang ada di sistem sekolah pun, alhasil hanya digunakan sekian persen di dalam masyarakat kita. Ditambah lagi dengan label-label yang diberikan kepada siswa sebagai anak malas, anak bodoh, anak nakal dan sebagainya, membuat masalah menjadi rumit.
Oleh karena itulah sekolah harus memiliki pemahaman bahwa merekalah adalah pabrik, dimana di dalamnya akan mencetak anak-anak yang cerdas dan berbobot yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.

Fungsi Bimbingan Konseling pun menjadi aspek yang penting pula dalam pengembangan sekolah yang holistik. Karena Bimbingan Konseling adalah wadah dimana siswa yang unik (kita ganti istilah anak malas, bodoh, dan nakal menjadi siswa unik) dianggap sama dengan siswa yang berprestasi dalam bidang akademik. Kita bisa melihat betapa di Bimbingan Konseling di negara-negara Eropa dan Amerika memberikan sebuah inovasi yang besar dalam dunia pendidikan. Dimana siswa-siswa yang memiliki masalah diidentifikasikan potensinya, BUKAN MASALAHNYA, sehingga BK bisa memberikan rekomendasi khusus kepada sekolah untuk menjadikan bakat ataupun potensinya sebagai sarana baginya untuk mengubah citra dirinya yang semula negatif menjadi positif.
Fungsi bimbingan konseling yang lain pula adalah memberikan masukan kepada pihak sekolah mengenai rancangan kurikulum sekolah yang humanis dan progresif, sehingga arah kurikulum sekolah mengacu pada hak asasi manusia bukan pada instalisasi software program pada manusia seperti robot. Sehingga bimbingan konseling melakukan evaluasi-evaluasi terhadap pola pendidikan dan pengajaran guru, perkembangan prestasi anak (lewat wali kelas), dan penelitian-penelitian yang bersifat eksperimental untuk pengembangan sekolah menuju ke arah yang baik.

Bimbingan sekolah harus mengoptimalisasi fungsinya sebagai sponsor untuk memberikan pengembangan pada diri anak. Pencarian-pencarian LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), klub-klub akademik, pencinta alam, kesehatan, agama, dan lainnya, serta event-event regional, nasional dan internasional untuk mendukung pengembangan potensi anak.
Fungsi yang lain adalah, bersama-sama dengan sekolah mendesain tempat pembelajaran yang menarik, nyaman dan kondusif untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Sekolah bisa membuat improvisasi di setiap kelas untuk duduk di lantai atau belajar di alam terbuka, sehingga proses transfer informasi pada siswa bisa berlangsung dengan baik.

Keempat, kita harus sepakat bahwa masyarakat merupakan aspek yang cukup signifikan dalam perkembangan peserta didik. Keamanan, keadilan, kenyamanan dan budaya menjadi faktor penting dalam perkembangan peserta didik. Sehingga menjadi tugas pemerintah adalah menjadikan masyarakatnya sebagaimana masyarakat yang madani dan humanis. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an (surah Shaad: 26):
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”

Akhirnya, dengan memperhatikan 4 aspek tersebut, insya Allah bisa menuntaskan beberapa permasalahan pendidikan kita di Indonesia. Penulis juga merasa bahwa tulisan ini masih memiliki kekurangan, yang disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan penulis tentang masalah ini. Apabila ada kebenaran yang tersampaikan itu semua berasal dari Allah SWT. Semoga ada hikmahnya. disadur dari http://www.psikademik.blogspot.com

0 komentar:

 

kunjungi juga

Dunia Blogger Indonesian Muslim Blogger
Atas nama TuhanKu Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template