Kamis, 03 Juli 2008

Membangun Kepemimpinan Nasional yang Amanah


Dalam sejarah politik Indonesia, telah mengalami lima kali penggantian pemimpin nasional (Presiden). Kelima presiden tersebut memiliki visi sosial yang berbeda, gaya atau style yang berbeda, sekalipun mempunyai tujuan yang sama, yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Selain itu, sejumlah pemimpin besar (negarawan) juga muncul dalam panggung politik Indonesia. Akan tetapi, tujuan yang sama untuk mencapai masyarakat adil dan makmur masih sulit diwujudkan. Meskipun, strategi pembangunan telah dirubah dari pendekatan trickle down effect ke pendekatan kemasyarakatan yang terfokus kepada pemberdayaan dan perluasan kegiatan ekonomi masyarakat pada skala menengah dan kecil yang secara interkoneksitas akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.


Sehubungan dengan permasalahan tersebut, menurut Kotter (2001), bahwa sebagian orang mengatakan bahwa sepanjang sejarah, kepemimpinan yang berkualitas memang masih kurang. Hal ini boleh jadi benar, boleh jadi salah. Yang jelas, lingkungan yang bergerak kian cepat dan kompetitif yang kita hadapi pada abad ke-21, menuntut lebih banyak orang untuk membuat perubahan. Tanpa kepemimpinan seperti itu, niscaya organisasi-organisasi akan stagnan, kehilangan arah, dan pada akhirnya akan mengalami kesulitan. Isu sentral di sini bukanlah persoalan gaya, tetapi yang penting adalah kepemimpinan itu sendiri. Bagaimana pemimpin itu, menjadi pemimpin yang amanah dalam arti bertanggung jawab, kredibel yang dibangun atas dasar integritas, otoritas, dan kapabilitas, termasuk watak, pengalaman, intelegensia, dan energi, serta berorientasi masa depan, atau menjadi pemimpin yang visioner


Kepemimpinan nasional yang amanah, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih duhulu dijelaskan apa itu birokrasi. Istilah atau kata birokrasi mempunyai arti sesuatu yang positif. Kata itu bermakna sebagai suatu metode organisasi yang rasional dan efisien – metode untuk menggantikan pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh rajim otoriter. Logika dari birokrasi dalam kerja pemerintah sama dengan jalur perakitan dalam pabrik. Model birokrasi pemerintahan seperti ini dapat diterapkan; jika lingkungan stabil, tugas-tugas relatif sederhana, setiap pelanggan menginginkan layanan yang sama, serta kualitas kinerja tidak mengkhawatirkan, dan masih mampu berjalan sampai tingkat tertentu (Osborn dan Gaebler, 1995).


Max Weber ahli sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model struktural yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi-organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur ideal ini sebagai birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja, hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan pribadi atau impersonal (Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang birokrasi berkaitan dengan organisasi rasional, in efisiensi organizational, kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, administrasi negara, administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sebuah organisasi, dan masyarakat modern.


Sehubungan dengan hal tersebut, maka birokrasi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu; tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni adalah adanya sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah fundamental bagi birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum (officialdom = kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi. Weber memandang birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan jelas pekerjaan serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Konsep ini sejalan dengan pendapat Thoha (2003) yang mengatakan bahwa konsep birokrasi Max Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan (government) banyak memperlihatkan cara-cara officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada rakyat.


Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987), dan Beetham (1996) dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1) pejabat melakukan tugas-tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki jabatan yang jelas, (3) fungsi-fungsi jabatan-jabatan itu dirinci dengan jelas, (4) para pejabat diangkat atas dasar kontrak, (5) mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional, (6) gaji disusun sesuai kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah satu-satunya dan utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan pangkat, (9) kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan (10) pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner.


Dari berbagai uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa birokrasi sebagai salah satu bentuk organisasi terdiri atas beberapa orang yang berkumpul bersama baik dalam suatu hubungan yang resmi maupun tidak resmi. Organisasi tersebut dibutuhkan sebagai wadah bersama yang dilaksanakan melalui struktur, proses, dan aturan/norma untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini berarti bahwa organisasi birokrasi dapat dikatakan sebagai suatu susunan terorganisasi untuk menciptakan pencapaian tugas administrasi (koordinasi sistematis terhadap banyak orang). Birokrasi juga dapat diartikan sebagai pejabat pemerintah, aparatur pemerintah/ administrasi negara /korps pegawai negari sipil, dan atau prosedur kerja.


Dengan pengertian dan ciri-ciri birokrasi tersebut, maka kepemimpinan birokrasi selama ini cenderung bersikap top-down atau memerintah, dan mendahulukan pekerjaan administratif ketimbang urusan sumberdaya manusia. Bersikap top-down dan mendahulukan pekerjaan administratif, dipandang oleh Hans dan Finsel (2002) sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin. Bahkan, dalam organisasi hirarkis tradisional seperti birokrasi, visi berasal dari puncak atau visi selalu digaunkan dari “atas” atau datang dari proses perencanaan yang sudah dilembagakan suatu organisasi (Sange, 1996). Manajemen puncak menuliskan “pernyataan visi” mereka, seringkali dengan bantuan konsultan. Orang-orang dalam organisasi tidak perlu memahami visi, tetapi cukup tahu apa yang diharapkan dari mereka. Visi seperti ini seringkali mengecewakan hasilnya, karena tidak dibangun berdasarkan visi pribadi, atau visi pribadi seringkali diabaikan dalam visi strategik.


Pemimpin nasional yang amanah adalah pemimpin yang bertanggung jawab, pemimpin yang efektif, atau pemimpin masa depan. Kunci menuju keunggulan bersaing pada tahun 1990-an dan sesudahnya menurut Bennis (1998) adalah kemampuan kepemimpinan dalam menciptakan arsitektur sosial yang bisa menghasilkan modal intelektual. Modal intelektual berarti gagasan, cara melakukan, inovasi, pengetahuan, dan keahlian. Itulah apa yang akan membuat perbedaan. Melakukan restrukturisasi dan rekayasa ulang hanya akan menghasilkan sesuatu yang terbatas; kita tidak bisa melakukan restrukturisasi atau rekayasa ulang atas perusahaan kita untuk memasuki kemakmuran.


Itu memerlukan gagasan dan penciptaan kembali. Penciptaan kembali memerlukan otak, gagasan, dan pengetahuan. Kita tidak akan bisa menarik atau mempertahankan angkatan kerja yang seperti itu dibawah bentuk kepemimpinan komando dan pengawasan birokratis yang konyol dan sudah usang. Kita tidak bisa melepaskan kekuatan otak organisasi manapun juga dengan menggunakan cambuk dan rantai. Kita mendapatkan apa yang terbaik dari orang-orang kita dengan memberdayakan mereka, dengan mendukung mereka, dengan membuat mereka berusaha sekuat tenaga.


Pemimpin besar menurut Bennis (1998), paling sedikit harus punya tiga hal. Pertama, rangkaian keyakinan yang kuat. Kedua, peserta yang penuh pengabdian. Ketiga, kemampuan menggunakan kedudukannya sebagai mimbar untuk mendapatkan dukungan luas bagi tujuannya. Semua kriteria ini adalah apa yang diperlukan pemimpin di tingkat nasional, dan wawasan ini adalah yang diperlukan organisasi di tingkat lokal. Sebaliknya, birokrasi tidak mendorong kepemimpinan. Lembaga yang terbaik adalah lembaga yang mengembangkan pemimpin, dan itu memerlukan pandangan yang berbeda tentang seperti apa seharusnya organisasi. Bagi Townsend kualitas pertama yang diperlukan oleh presiden atau pemimpin besar adalah watak. Kemudian pengalaman, intelegensi, dan energi diperlukan. Dari itu semua datang rangkaian keyakinan yang kuat.


Selanjutnya, kepemimpinan di masa mendatang menurut White Randall, dkk (1997) tidak hanya perlu mempunyai kemampuan untuk mengatasi dampak emosional dari perubahan selangkah demi selangkah, tetapi juga perlu membantu orang dalam organisasi untuk secara cepat meraih cara kerja baru yang lebih efektif. Kesuksesan di masa lalu tidak akan menjamin kesuksesan di masa mendatang. Hasil riset dikenali lima keahlian utama yang mendasar bagi kepemimpinan gelombang, yaitu : proses belajar yang sulit, memaksimalkan energi, kesederhanaan menggema, multifokus, dan menguasai perasaan yang terdalam.


Proses belajar yang sulit berarti memaksimalkan dan mengembangkan kemampuan dalam diri sendiri. Memaksimalkan energi berarti kualitas kerja lebih penting, karena kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Kesederhanaan yang menggema berarti mengkristalkan gagasan-gagasan, dan selalu mudah untuk berbuat berbagai hal yang kompleks. Fokus adalah masalah persuasi dan pembelaan, yang bisa bersifat obsesi, yaitu kekuatan yang besar yang perlu dikontrol untuk kebaikan organisasi dan bukannya dibiarkan menyatukan langkahnya sendiri. Perasaan yang terdalam berarti memasukkan intuisi, perasaan, naluri, dalam mempelajari saran, pola, dan kecenderungan dalam organisasi dan pasar.


Untuk menjamin keberhasilan organisasi, maka pemimpin harus kredibel, karena kredibilitas adalah kualitas kepemimpinan yang sangat penting (Shelton, 2002). Pemimpin yang dapat dipercaya harus terpercaya, jujur, mampu, dinamis, memberi inspirasi, dan memandang kedepan. Tanpa kredibilitas menurut Sinamo (2002), seorang pemimpin tidak mungkin menjadi motivator, tidak akan mampu menggalang dukungan, dan tidak sanggup menjadi path-finder. Kredibilitas adalah soal bagaimana pemimpin memperoleh kepercayaan dan keyakinan dari para konstituennya.


Kepercayaan dan keyakinan adalah penting dan utama bagi konstituen. Jadi, adalah tugas para pemimpin untuk dapat lebih dipercaya dan meyakinkan para konstituen mereka. Kredebilitas ibarat rumah kepemimpinan. Rumah yang baik membutuhkan fondasi yang kuat. Semakin kuat fondasi bangunan, semakin kukuh rumah itu. Terdapat tiga fondasi kredibilitas, yaitu; integritas, otoritas, dan kapabilitas. Demikian halnya dengan pemimpin nasional yang amanah, harus sanggup membangun integritas, otoritas, dan kapabilitas. Para pemimpin yang efektif selalu mempunyai rencana; mereka berorientasi penuh pada hasil.


Mereka mengadopsi visi-visi baru yang menantang, yang dibutuhkan dan bisa diajangkau, mereka mengkomunisasikan visi-visi tersebut, dan mempengaruhi orang lain sehingga arah baru mereka mendapat dukungan dan bersemangat memanfaatkan sumberdaya dan energi yang mereka miliki (Nanus, 2001). Visi-visi tersebut, harus dilihat sebagai suatu elemen pusat dari kerja sehari-hari para pemimpin yang membangun visi bersama. Visi bersama muncul dari visi pribadi, namun bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan visi pribadi mereka tidak secara otomatis menjadi visi organisasi (Senge, 1996). Para pemimpin yang memiliki niat membangun visi bersama harus rela secara terus menerus membagi visi pribadi mereka. Suatu visi bersama adalah suatu visi yang mana banyak orang benar-benar terikat, karena hal tersebut mencerminkan visi pribadi mereka sendiri
 

kunjungi juga

Dunia Blogger Indonesian Muslim Blogger
Atas nama TuhanKu Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template